Oleh Alfath Asmunda*
JIKA ada yang memendam amarah, terluka tapi tak berdarah, dan patah hati sejadi-jadinya, maka orang itu adalah Paul Christopher Munster. Dia pelatih kepala Bhayangkara FC.
Bukan tanpa alasan lelaki asal Irlandia Utara ini bermuram durja. Adalah hasil imbang lawan Persiraja Banda Aceh di partai pembuka Liga 1 Indonesia, pada Sabtu (29/2/2020).
Usai laga malam itu, saya membayangkan Paul tidur pasti tidak nyenyak. Uring-uringan sampai terang tanah. Pikirannya terus bergolak melempar tanya; bagaimana mungkin, tim kecil nun jauh di ujung Sumatera yang baru promosi di liga bergengsi Indonesia itu, setelah nyaris satu dekade absen mencicip panasnya laga liga 1, mampu menahan imbang “raksasa” yang pernah mengangkat trofi musim 2017?
“Kita bermain sangat superior di 25 menit pertama. Tapi kita susah juga melawan 12 sampai 13 pemain,” kata Paul dengan nada suara memendam amarah. Namun dia tak menjelaskan pemain ke-13 itu siapa. Dia seperti melempar bola panas untuk membuat orang menerka-nerka.
“Kamu lihat sendiri bagaimana pertandingan tadi kan? Bagaimana pendapatmu?” sergah Paul balik bertanya kepada wartawan yang mengajukan tanya; mengapa ia sangat emosianal di pertandingan tersebut.
Jujur saja, raut mukanya di ruang jumpa pers malam itu seperti orang baru sembuh penyakit malaria; pucat. Ruangan tersebut seketika hening. Wartawan jadi urung melempar tanya dan semua memilih sepakat mengakhiri sesi tanya jawab.
Di bagian belakang, suara cekikikan tawa berderai mengiringi langkah kaki Paul meninggalkan ruang jumpa pers.
Begitulah suasana hati pria jangkung dengan rambut hitam kecoklat-coklatan itu usai laga yang berakhir imbang 0-0 di kandang tuan rumah. Amarahnya di 90 menit laga berkeping pecah.
Paul barangkali merasa reputasinya sebagai pelatih Bhayangkara FC dengan segudang pemain top dicabik di hadapan 30 ribu lebih penonton yang memadati Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya, Banda Aceh.
Malam itu, dari peluit babak pertama ditiup wasit Annas Apriliandi, Paul memang sudah mencak-mencak menabur protes. Dari pinggir lapangan, dia kelihatan melepas tinju menghantam angin akibat kecewa keputusan wasit tak berpihak ke Bhayangkara FC.
Mesin permainan dua kesebelasan memang panas dari menit awal. Persiraja Banda Aceh tak ingin malu di laga pembuka usai naik kasta dari liga 2, apalagi pertandingan tersebut disaksikan puluhan ribu pasang mata pendukungnya.
Sesuatu yang nyaris di luar prediksi banyak orang. Bahkan, laga perdana Persiraja itu, tercatat sebagai laga pembuka nomor tiga terbanyak penonton di pekan pertama Liga 1 yang disponsori Shopee.
Malam itu, Persiraja di babak pertama tampil dengan lini bawah yang sedikit “demam panggung”. Adam Mitter dan Agus Suhendra acapkali tak satu frekuensi menjaga gerak penyerang The Guardians.
Serangan Bhayangkara sering masuk dari sisi kanan yang luput dijaga Adam dan Agus. Entah apa yang ada di pikiran mereka berdua di 30 menit pertama. Kelihatan seperti tak ada komunikasi. Saling abai memberi tahu ada celah kosong yang melebar antara posisi jaga mereka masing-masing.
Bak gayung bersambut, kegusaran saya itu turut dibenarkan oleh seorang penonton yang duduk di samping. Awalnya kami hanya saling diam dengan mata tertuju pada jalannya laga. Dia seorang seorang bapak-bapak berumur sekira 50-an.
“Wah, parah itu, lihat… ada celah kan?” katanya membuka awal perkenalan kami. Telunjuknya ikut lurus menunjuk ke arah sisi kanan bawah Persiraja.
Tampak Agus kebingungan menyaksikan aksi Saddil Ramdani menggocek bola sendiri tanpa ditempel Mitter. Saya yang kaget diajak bicara dengan spontan itu, hanya bisa mengangguk-angguk setuju.
Menangkap ada teman untuk saling tebar gerutu jalannya pertandingan, saya mencoba membuka diri. Saya ajak dia berkenalan.
Dia memperkenalkan diri dengan nama Zainuddin. Asalnya dari Aceh Timur. Perawakannya kental orang Aceh. Rahangnya berisi. Tepat di bawah batang hidung, kumis hitamnya tebal melintang.
“Saya di dunia sepakbola ini sudah puluhan tahun,” ucapnya tersenyum.
Kami kemudian cepat akrab. Satu dua istilah dalam sepakbola saya curi dari khasanah pengetahuannya.
Zainuddin tipe penonton laksana buah padi masak. Dia tidak krasak-krusuk manakala serangan pemain Persiraja nyaris membobol gawang Bhayangkara. Pun begitu juga saat gawang Persiraja dapat ancaman tim lawan.
Nyaris Zainuddin menonton tanpa ekspresi selain hanya manggut-manggut senyum sambil tangan disilang ke dada, dan selebihnya duduk dengan tenang. Menunjukkan asam-garam pengalaman dan pengetahuannya dengan dunia sepakbola menyatu kental sekali.
45 menit pertama penonton tak henti bergemuruh. Terompet sana-sini berbunyi. Sorak-sorai melengking di Harapan Bangsa. Suporter Persiraja laksana paduan suara yang tak putus terus melantangkan nyanyian “lantak laju… lantak laju… lantak laju.”
Di sudut kanan tribun B pendukung Bhayangkara FC tak mau kalah. Mereka yang rerata adalah polisi itu, ikut menabuh genderang. Berjingkrak-jingkrak manakala TM Ichsan mengancam gawang Fakrurrazi ‘Quba’.
Saya dan Zainuddin, di tengah keriungan itu, asik berbicara dengan mata tertuju ke jalannya laga. “Penonton kita lumayan sportif. Dilihat dari pertandingan keras begini, kalau di luar jadi tuh ribut,” kata Zainuddin. Kami lantas tertawa kecil.
“Sayang sekaliiii…,” tiba-tiba ia spontan menggerutu. Itu disebabkan aksi Vanderlei Francisco, penyerang Persiraja Banda Aceh dengan gaya rambut dikuncir mendapat peluang manis membuka keunggulan.
Sayangnya, sepakan mantan striker Semen Padang itu di dalam kotak 16 pas tidak terukur cermat. Tak tepat sasaran; melambung di atas gawang.
Peluit berbunyi. Babak pertama berakhir.
Zainuddin mengeluarkan rokok dari dalam tas selempang kecil dan lalu membakarnya. Perlahan bibirnya menarik asap rokok itu.
“Huuuuussss…. babak kedua semuanya akan berubah,” ujar lelaki itu sembari asap rokok mengepul keluar dari mulut tipisnya.
***
Bhayangkara FC tim yang bertabur pemain bintang itu kewalahan. Marwah sebagai tim yang pernah menjuarai Liga 1 itu kini sedang dipecundangi tim debutan yang baru bangkit dan masih tambal sulam sana-sini.
Kenyataan dibuat kocar-kacir oleh Persiraja bikin Paul Munster gusar. Di pinggir lapangan dia mondar-mandir. Kalau ada pemainnya duel dan berakhir jatuh, Paul buru-buru protes ke wasit.
Dia mengumpat sejadi-jadinya. Bahkan, protesnya yang tak digubris itu ia luapkan dengan menendang botol minuman di pinggir lapangan. Ia tak bisa menutupi rasa frustasi menghadapi taktik yang dirombak Hendri Susilo di babak kedua.
Adam Mitter dan Agus Suhendra “dipoles” Hendri jadi saling padu. Entah apa yang dibisikkan ke telinga dua pemain itu hingga Ezechiel Ndouasel bingung mencari celah menembus mereka di paruh waktu pertandingan babak kedua.
Memang, suara sumbang sebelum laga perdana tersebut, para maniak bola di Aceh banyak yang pesimis dengan debut Adam, pemain asing yang diboyong Persiraja dari Valour FC — sebuah klub di Liga Kanada.
Tapi yang terjadi di Harapan Bangsa malam itu, Adam Mitter mementahkan semua pesimisme yang menyasar kepada dirinya.
Dia benar-benar bermain. Dia benar-benar mau menegaskan kepada pendukung Persiraja untuk satu kalimat penting; “hey brother’s, segera cintai aku!” Dan itu benar-benar terjadi. Adam Mitter mencuri perhatian penonton.
Bruno Dybala pun tak kalah menggoda. Pemain berkebangsaan Negeri Samba itu bermain lepas tanpa beban. Kocek bola dari kaki Dybala pasti. Passing-nya kepada kawan terukur.
Pun juga, beberapa kali tendangan bebas diambil alih oleh Dybal. Tajam. Keras. Namun dewi fortuna masih saja belum berpihak.
Bahkan di penghujung tambahan waktu babak kedua, Dybal nyaris membuncahkan kebahagiaan di dada pendukung Persiraja kalau saja sontekannya tak membentur mistar gawang.
Karena mendapati performa apik anak asuhnya di babak kedua, hal itulah yang membuat Hendri Susilo sumringah di ruang jumpa pers. Ditemani Zamroni, Hendri memuji penampilan punggawa Persiraja. “Saya sangat respect dengan pemain saya. Terlepas dengan hasil skor,” katanya.
Namun ada satu mendung yang menggelayut di hati Hendri. Pun saya yakin mendung itu juga menggantung di hati pemain, menajemen, dan pendukung Persiraja.
Di debut awal melawan “raksasa” Bhayangkara FC, Laskar Rencong harus rela kehilangan Agus Suhendra untuk beberapa laga mendatang. Bek sayap itu mengalami cedera di bagian tangan.
Usai keluar dari ruang jumpa pers, di kepala saya terngiang-ngiang ucapan Zainuddin, tatkala di paruh menit ke-4 tambahan waktu babak kedua, saat sepakan Bruno Dybal menyentuh mistar gawang.
Di momen itulah, dari sepanjang 90 menit pertandingan berjalan pada akhirnya saya melihat ekspresi Zainuddin muncul. Dia sontak bangkit dengan tangan terkepal ingin merayakan gol.
Tapi gawang Bhayangkara FC yang seharusnya jebol melalui kaki Dybal itu, tak pernah benar-benar terjadi. Sambil memukul-mukul pelan pundak saya, dia berujar, “begitulah sepakbola. Nasib itu… nasib…”
*Penulis pencandu sepakbola, suporter Persiraja. Dapat dihubungi di akun Twitter @alfaaaath
Komentar