Pengantar:
Pengamat sepakabola Akmal Marhali menulis “diari” singkat yang diposting pada akun Instragramnya. Nama Anatoli Polosin dengan Shadow Football-nya ikut dibawa-bawa. Khusus pada diksi terakhir ini, kami ingin berbagi informasi dengan pembaca tentang Shadow Football lewat tulisan di bawah ini. Tulisan ini kami sadur dari gorilasport.com.
* * *
ACEHFOOTBALL.net — Gemblengan ala militer yang keras dan disiplin terdengar biasa dilakoni para atlet untuk meningkatkan stamina serta mentalitas menghadapi pertandingan yang ketat. Tapi, bagaimana rasanya mendapat bimbingan langsung dari Anatoli Fyodorich Polosin?
Pelatih kelahiran Moscow, 30 Agustus 1935, yang menghembuskan napas terakhir di usia 62 tahun pada 11 September 1997, itu pernah menangani tim nasional Indonesia pada 1989-1991. Hingga hari ini, Polosin masih dianggap sebagai salah satu pelatih terbaik dan paling sukses yang pernah dipekerjakan PSSI.
Kesuksesn Polosin tak lepas dari metode yang diterapkan kepada para pemain. Karena berasal dari Uni Soviet dan mengabiskan sebagian besar karier kepelatihannya di Eropa Timur, gaya melatih Polosin berbeda dari arsitek-arsitek Eropa Barat pada umumnya. Pasalnya, dia lebih mengutamakan keunggulan fisik pemain dibandingkan kemampuan teknik, taktik, atau strategi di lapangan.
Contohnya ada pada skuad Garuda yang akan menghadapi SEA Games 1991 di Manila. Polosin mengawali aktivitasnya ketika itu dengan menempa fisik Raymond Hattu dkk dengan sangat keras. Bahkan, Polosin memberikan latihan fisik selama tiga bulan. Oleh banyak orang hal itu dianggap berada di luar batas kemampuan para pemain Indonesia.
Akibat kerasnya latihan fisik ala Polosin, banyak pemain muntah, tergeletak tak berdaya, hingga sakit. Bahkan, tidak sedikit yang memilih kabur saat menjalani pemusatan latihan. Setelah fisik ditempa, Polosin melanjutkannya dengan menerapkan shadow football. Ini adalah latihan sepak bola tanpa ada bola di lapangan.
Strategi yang diterapkan Polosin saat itu sempat menuai polemik. Bahkan, dianggap konyol dan aneh. Anggapan itu cukup beralasan karena Polosin juga sempat mengasah fisik anak didiknya dengan menjalani latihan berupa mendaki gunung. “Sepak bola apa ini? Kok, harus naik gunung segala,” ujar Kas Hartadi saat itu.
Latihan fisik selama tiga bulan memang melebihi latihan fisik ala militer. Akibatnya, banyak pemain menyerah atau tercoret karena tak kuat menerima metode latihan Polosin. Namun, Polosin tidak peduli. Dia bersikeras karena punya alasan khusus. Melalui asistennya, Vladimir Urin, pemain Indonesia diharuskan bisa melakukan sentuhan bola sebanyak 150 kali saat bermain selama 90 menit. Polosin menginginkan para pemain mendekati itu.
Kerja keras Polosin bersama tim Garuda akhirnya mendapatkan hasil memuaskan. Selama tiga bulan, Polosin mampu menyulap VO2Max pemain Indonesia mendekati rata-rata pemain Eropa.
Hasilnya, di SEA Games 1991, Polosin mempersembahkan medali emas. Tim Garuda tampil luar biasa di Manila. Mereka mencatatkan hasil tidak terkalahkan, termasuk menggulingkan tim favorit juara, Thailand, di final melalui drama adu penalti 4-3 (0-0). Itu kejutan karena pasukan Garuda saat itu didominasi oleh pemain muda seperti Rochi Putiray, Sudirman, Peri Sandria, hingga Widodo Cahyono Putro.
Komentar