ACEHFOOTBALL.com — Mantan Ketua Pengda PSSI Jawa Timur dan Exco PSSI, Haruna Soemitro menanggapi tulisan Djoko Susilo beberapa waktu lalu disalah satu media nasional yang menyerukan ”Go to Hell with FIFA”.
Dan Berikut ini adalah tulisan Haruna Soemitro menanggapi tulisan Djoko Susilo beberapa waktu lalu.
Dalam Situasi sepak bola nasional yang sedang beku sekarang ini, akan lebih bijaksana jika para tokoh sepakbola, pengamat, dan pemerintah Indonesia menyalakan semangat kontstruktif, jangan malah menebar rasa benci dan menambah jumlah pihak lain yang disalahkan.
Komunitas sepak bola Indonesia sekarang membutuhkan suasana teduh, dan menunggu kepastian kapan program konkret peningkatan kualitas kompetisi dan prestasi dimulai. Seperti apa program tata kelola sepak bola yang terbaik versi pemerintah hingga PSSI dibekukan?.
Saya yang pernah terlibat aktif dalam manajemen pembinaan sepakbola, prihatin bercampur gemas membaca tulisan saudara Djoko Susilo yang menerukan ”Go to hell with FIFA”, mengapa harus menambah musuh lagi?.
Mungkin saudara Djoko Susilo ”ingin” menyatakan bahwa sekarang PSSI dimata pemerintah sudah tidak ada gunanya lagi, sehingga perlu dibekukan.
Bahkan katanya ingin menghabisi semua anasir mafia bola dalam tubuh PSSI? puncaknya sampai-sampai ada niat ingin membentuk federasi baru.
Hampir satu tahun berselang semua niatan yang digambarkan saudara Djoko Susilo belum juga membuahkan bukti kongkrit, kecuali panggung-panggung kecil dalam bentuk turnamen, yang terbanyak malah kegaduhan penyataan yang semuanya hanya berefek mengurangi rasa sakit sementara waktu saja.
Semua rakyat sepakbola Indonesia berharap dengan kedatangan tim resmi FIFA dan AFC dapat segera mengurai benang kusut hubungan Pemerintah dan PSSI, malah malah menimbulkan kegaduhan barukarena pesan yang disampaikan langsung oleh Presiden dimaknai beragam.
Mungkin yang harus dipahami oleh semua pihak, bahwa sampai hari ini FIFA tidak menemukan jalan dan cara konstitusional untuk membubarkan PSSI hasil Kongres Luar Biasa 18 April 2015 lalu.
Dituliskan bahwa seorang utusan FIFA menyatakan ”FIFA tidak membutuhkan Indonesia, karena FIFA masih mempunyai 290 anggota lainnya. Apakah ini pernytaan resmi FIFA?”, kalau memang tidak membutuhkan, mengapa delegasi FIFA dan AFC datang ke Indonesia?, boleh saja atas nama pribadi delegasi FIFA memberi pendapat seperti itu, tapi dalam release resmi FIFA, pendapat itu terbantahkan, jadi tidak ada satu patah kata pun yang menyatakan FIFA tidak butuh Indonesia.
Bahkan mereka akanmemprsentasikan temuan-temuan mereka kepada Exco FIFA dalam rapat pada tanggal 2 dan 3 Desember 2015 dan sedang diproses serta diperjuangkan. Kalaupun dari pernyataan FIFA berbeda dengan hasil diskusi di Istana, atau tidak 100 persen sesuai dengan keinginan Tim Transisi, janganlah lantas FIFA dianggap melecehkan pemerintah Indonesia.
Masih banyak cara-cara diplomasi yang beretika sebagai Negara yang berdaulat untuk meluruskan langkah masing-masing pihak, daripada melanjutkan kegaduhan yang tidak berujung.
Kemudian saudara Djoko Susilo menuliskan ”aneh bin ajaib”, ada klub Bonek FC yang tiba-tiba berubah menjadi Surabaya United bisa bertengger dalam klub elite tanpa kerja apa pun”.
Kasus ini sebetulnya murni soal hukum, klub ini semula bernama Persebaya dibawah naungan PT MMIB dan diubah menjadi Bonek FC lalu diubah lagi menjadi Surabaya United karena pihak PT Persebaya Indonesia yang menaungi Persebaya 1927 memperoleh sertifikat hak paten logo dan nama Persebaya dari Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HAKI), selasa 22 September 2015.
Yang harus diketahui klub ini memerlukan perjuangan berat dan panjang (dua musim kompetisi) untuk kembali lagi kepentas ISL setelah degradasi ke Divisi Utama. Jadi jangan rancu!. BOPI telah memerintahkan kepada penyelenggara Piala Presiden 2015, PT Mahaka agar Persebaya United ganti nama di leg 2 perempat final.
Kaus ini berada diranah hukum, Tim Kuasa Hukum PT MMIB melukakn perlawanan lewat Pengadilan Niaga, dan akan memakan waktu dua tahun paling cepat, sehingga serahkan saja keranah hukum untuk mencari kebenaran.
Jangankan soal hak paten, SK Menkum HAM tentang keabsahan Parpol saja biasa digugat, SK Menkum HAM bukanlah sumber satu-satunya mencari kebenaran para pihak.
Kalau toh nanti terjadi perubahan radikal dan fundamental dengan menggantikan seluruh jajaran pengurus PSSI dengan orang-orang baru, bukan berarti sepak bola Indonesia dalam tempo singkat berhasil ikut piala Dunia, jangan seperti seorang kandidat ketua umum PSSI 2013 lalu yang pernah mengatakan bahwa Indonesia akan ikut nPiala Dunia dengan cara mendaftar ke FIFA, layak mendaftar Perguruan Tinggi saja.
Pemahaman-pemahaman seperti inilah yang menyesatkan, untuk menjelaskan bagaimana membangun Tim Nasional yang bisa masuk jajaran 4 besar Asia dan sukses masuk putaran final Piala Dunia, saya perlu menuliskan secara serial bagaimana pemain sejak usia dini harus diperlakukan, dan marilah semua pihak sekarang ini menumbuhkan suasana konstruktif dan teduh.
Pekerjaan sangat berat yang melibatkan banyak pihak untuk menciptakan Tim Nasional yang luar biasa. PSSI dan asosiasi sepak bola negara manapun tidak akan mampu membangun stadion dan lapangan latihan berstandar FIFA di seluruh penjuru tanah air, karena itu bukan domain PSSI, tapi domain pemerintah, seperti di negara lain manapun yang ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia, apakah PSSI wajib membiayai peningkatan gizi pemain berbakat usia dini sejak usia 10 tahun sampai menjadi pemain dewasa?, dan bagaimana mungkin Indonesia mengorbitkan pemain kualitas dunia kalau lapangan latihan masih tidak rata dan keras, serta gizi mereka di bawah standar atlet level dunia, dan bagaimana pemain masa depan bermain cerdas dan mampu bermain tempo tinggi 2 x 45 menit jika kondisinya masih seperti sekarang?.
Dewa pun tak akan bisa!, jangan-jangan sekarang ini kita diajak mendengarkan omongan seorang bayi yang baru lahir yang menggambarkan keindahan Candi Borobudur?.
Tulisan Djoko Susilo: Melawan Gertakan FIFA bisa dibaca di sini.!
Komentar