Untuk selamanya Bournemouth tak akan menjadi kota sepenting Southampton dan Portsmouth. Memang ketiganya sempat menjadi satu dalam (semacam) karesidenan (county), Hampshire, sebelum Bournemouth dipisah menjadi bagian dari karesidenan Dorset. Ketiganya juga menjadi segitiga kota pinggir laut terbesar di Inggris Barat Daya. Jarak di antara ketiganya juga hanya satu injakan pedal gas.
Tetapi, sementara Southampton menjadi salah satu kota pelabuhan komersial terbesar di Inggris dan Portsmouth pusat angkatan laut Inggris, Bournemouth hanya satu dari belasan kota untuk tetirah pantai di Inggris Selatan. Itupun bukan yang terbesar dan terpopuler.
Dalam urusan sepakbola, peruntungan ketiga kota itu juga berbeda. Lagi-lagi Bournemouth berada di belakang.
Kini mereka bisa pongah. “Peduli amat, kami di Liga Primer sekarang,” tulis seorang teman di email. Atau kalau mengikuti chorus nyanyian pendukung Bournemouth di stadion bola, “Tak ada yang tahu tentang kami. Tak ada yang pernah mendengar tentang keberadaan kami. Tapi kami tak peduli…”
Nyanyian itu berlebihan tentunya. Penggemar bola tentu mengenal Bournemouth. Hanya saja dalam sejarahnya, Bournemouth belum pernah mencicipi liga papan atas –hingga musim kali ini.
Anda tahu, sepakbola tidak pernah benar-benar dominan dalam imajinasi penduduk Bournemouth. Tidak terlalu penting. Setidaknya tidak sekuat di Southampton dan Portsmouth.
Bournemouth sejak awal berkembang sebagai tempat tetirah ketika di seperempat akhir abad 19 berenang di laut mulai menjadi sebuah kegiatan liburan yang populer. Memulihkan kesehatan. Beristirahat dari keramaian. Bersantai. Menghindari kesibukan. Tempat pensiunan malah.
Perangai seperti itu menjadi DNA kota ketika Bournemouth berkembang dan tak pernah sepenuhnya hilang hingga saat ini: santai, rileks, dan tanpa beban.
Bertempat tinggal di Bournemouth adalah sebuah kesengajaan untuk tidak berbuat apa-apa. Saat ritme hidup sengaja diputar lambat. Saat hidup seperti sudah selesai dan menyongsong entah. Saat escapisme (pelarian) dari sesuatu (apapun itu) tak diperlukan lagi.
Sepakbola rupanya tidak pernah benar-benar bisa subur dalam langgam hidup yang seperti itu. Oksigen sepakbola adalah ketika dada masih membuncah dengan energi untuk menaklukkan dunia. Oksigen sepakbola adalah suasana ketika tuntutan bertahan hidup masih menjadi prioritas utama. Oksigen sepakbola adalah segala tata kehidupan yang bukan Bournemouth.
Tak heran kalau sepakbola, seperti terlihat di Inggris maupun belahan dunia lain, tumbuh populer menjadi institusi di kawasan-kawasan industri, daerah-daerah baru dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, atau wilayah-wilayah dengan kepenatan hidup yang sangat. Sepakbola efektif menjadi semacam escapisme-hiburan massal, untuk wind down (menurunkan tensi) juga secara massal, atau katup peluncasan energi yang berlebih.
Kalau klub Bournemouth yang sejarahnya bermula dari tahun 1899 kemudian tidak pernah mencicipi papan atas persepakbolaan Inggris, bisalah dimengerti. Karena memang tidak tersedia cukup dukungan dari sekitar untuk berkembang.
Penduduk tidak benar-benar merasa perlu memiliki sebuah klub sepakbola yang serius di lingkungan mereka. Atau hanya sedikit saja yang merasa mereka memerlukan keberadaan sebuah klub. Rata-rata penduduk merasa tidak perlu ada energi yang perlu diluncaskan. Tidak memerlukan katup pelarian.
Untuk waktu yang lama klub Bournemouth karenanya cukup ada saja. Ada tetapi tidak mewakili sebuah kegairahan. Tidak pula mewakili sebuah impian. Basis massa-suporternya kecil saja. Tertarik syukur, tidak tertarik tak apa.
Namun ketika sepakbola Inggris semakin lama menjadi semakin profesional dan mulai berputar sebagai sebuah industri, menjadi sekadar ada saja tidak lagi cukup. Persyaratan-persyaratan industrial, dalam hal ini industri hiburan-tontonan, harus dipenuhi.
Karenanya kemudian stadion dan lapangan harus memenuhi standard keamanan dan kelaikan agar pertandingan bisa dinikmati dengan nyaman. Pemain dan permainan harus ditingkatkan agar menarik hati para penonton. Administrasi harus rapi dan jelas agar memudahkan organisasi berjalan.
Ujung-ujungnya tentu memperbesar basis massa-suporter. Kalau perlu dilakukan fabrikasi imej, ikatan emosional, dan potensi. Karena basis massa-suporter adalah yang utama. Pasar sekaligus modal. Modal sekaligus pasar.
Mudah di rancangan, susah di dana. Terbuai oleh kemungkinan-kemungkinan keuntungan, potensi pasar, dan godaan naik pesatnya nilai industri sepakbola di Inggris, pengelola Bournemouth terlalu bernafsu mengembangkan bisnis dan meminjam uang ke Bank.
Mereka lupa akan basis massa-suporter yang kecil. Lupa akan Bournemouth dengan perangai kota yang tak cocok untuk berkembangnya sebuah klub bola. Selebihnya adalah cerita khas klub sepakbola yang lebih besar pasak daripada tiang.
Sepuluh tahun diakhir abad 20 –bertepatan dengan lahirnya Liga Primer dan diikuti dengan Liga Championship– dan sepuluh tahun diawal abad 21 adalah sebuah cerita upaya bertahan untuk tetap hidup yang tiada habisnya. Gali lobang tutup lobang.
Delapan belas tahun lalu, 1997, Bournemouth hampir saja tutup. Tak mampu membayar utang senilai 7 juta poundsterling yang jatuh tempo. Bahkan pihak klub sudah memberi tahu para pemain untuk pindah klub bebas transfer karena mereka sudah tak mampu lagi untuk sekadar membayar gaji.
Beruntung para pemain tetap bertahan. Bahkan bukan hanya itu, para pemain ikut turun tangan mengedarkan ember mencari donasi untuk klub di sebuah acara amal yang dihadiri sekitar tiga ribuan pendukung Bournemouth.
Tahun 2004 mereka hampir diusir dari stadion Dean Court –kini bernama Vitality Stadium–karena tak mampu membayar cicilan. Lagi-lagi suporter lewat sebuah yayasan melakukan saweran untuk membantu klub. Di tahun yang sama akhirnya pihak pengelola klub tak punya pilihan lain kecuali menjual Dean Court, stadion yang berkapasitas kurang dari 12.000 penonton, untuk menutup sebagian utang.
Tetapi dengan kecilnya jumlah penonton dan kecilnya sponsor yang mau membelanjakan uang mereka untuk Bournemouth, peruntungan klub tak kunjung membaik. Para suporternya juga sudah terengah-engah untuk membantu. Mereka sudah pasrah.
Beruntung, di tengah kesulitan keuangan yang amat sangat, prestasi klub tidak jelek-jelek amat. Bournemouth bisa berkutat di Divisi Dua dan Satu Inggris. Prestasi inilah yang mungkin membuat pada akhirnya ada pemodal kuat yang melirik mereka. Bahwa mungkin ada sesuatu di sana.
Di musim 2011/2012 seorang milyuner Rusia, Max Demin menanamkan uangnya untuk Bournemouth. Kelegaan bahwa mereka aman secara finansial mungkin sebuah dorongan yang luar biasa lebih dari apapun juga. Terbukti di musim berikutnya 2012/2013 mereka promosi ke Liga Championship.
Di satu sore tahun 2012, saya berada di Bournemouth mengantar anak mengikuti sebuah kejuaraan bulutangkis. Sore begitu indah dan nyaman. Matahari seperti tembaga yang menyala membakar laut. Langit yang sebelumnya biru berubah jingga. Angin laut sejuk mendekati dingin.
Saya bersama ayah dari pasangan main ganda anak saya memilih keluar dari gedung pertandingan, duduk di rerumputan menikmati sore dengan secangkir kopi dan rokok. Ada beberapa orang tua pemain yang memilih melakukan hal yang sama seperti kami. Sesekali terdengar sorak sorai membahana dari Dean Court, yang terletak tak jauh dari tempat kami berada.
“Kok mau ya menyia-nyiakan sore yang begitu indah untuk menonton bola?” kata saya kepada ayah teman main ganda anak saya. “Bournemouth lagi, nggak bakalan juga masuk Liga Primer.”
Ia tertawa terbahak-bahak dan menambahi, “Kecuali Southampton dan Portsmouth tutup.”
Betapa salah dan sok tahunya kami.
* * *
Tulisan ini disadur dari detiksport. Penulisnya adalah Yusuf Arifin yang pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Penggemar sepakbola dan kriket ini sudah pulang ke tanah air dan menjadi Chief Editor CNN Indonesia. Akun twitter: @dalipin68