Sudah banyak kudos alias pujian yang diterima N’Golo Kante selama dan bahkan sebelum Piala Dunia. Kante adalah gelandang elegen tim nasional Prancis. Pemain ini termasuk salah satu yang mencuri banyak atensi. Dia sangat sederhana, pemalu dan [mungkin] an innocent person.
Awalnya saya tidak berminat menulis lagi tentang pria berdarah Mali itu. Tapi, ‘hutang’ saya di postingan sebelumnya, maka artikel ini pun ‘wajib’ saya tuntaskan. [baca: Prancis dalam Kemenangan Multikultur].
Penulusuran saya diberbagai laman, memang Kante magnet bagi banyak pengamat dan mantan pemain bola Saya tahu dia sejak masuk ke Liga Inggris bersama Leicester City. Di bawah asuhan Claudio Ranieri, dia membawa klub itu juara Premier League untuk pertama kali.
Awalnya, saya tidak begitu tertarik dengannya. Bagi saya semua pemain bola adalah sama. Sama dalam artian, butuh tenaga, kerja keras dan kemampuan olah bola yang mumpuni. Jika itu minus, mustahil bisa tampil di kompetisi kasta tertinggi seperti Liga Inggris.
Karena Kante punya dan cukup syarat, maka tak salah bila dia kemudian menjadi pilihan utama pelatih di setiap klub yang dibelanya. Apalagi untuk klub di Inggris. Bagi saya curriculum vitae cukup oke.
Namun belakangan, makin saya perhatikan makin beda. Bila berjalan, baik saat tanpa bola atau sebaliknya, gesture dia laiknya bukan sebagai pemain bola. Ini cuma pandangan awam saya saja. Gesture yang saya maksudkan dari semua bahasa tubuhnya bila dibandingkan dengan pemain-pemain beken lain.
Sosok Kante ini juga mengingatkan saya pada figur Damien Duff. Pria berkebangsaan Irlandia ini mantan pemain Chelsea dan Newcastle United. Posisinya penyerang. Gestur-nya tidak begitu menyakini saya bahwa dirinya adalah pemain bola. Tak percaya lihat saja cara berjalan. Padahal dia adalah pemain hebat. Karena ini sepakbola, maka gaya berjalan, gestur tubuh tidak bisa menjadi patokan. Yang dilihat determinasi dan kontribusinya kepada tim.
Begitu juga halnya dengan Kante. Bahkan saya melihat, dirinya adalah ‘keajaiban’ sepakbola. Sebab, ketika tampil di lapangan, dia benar-benar menunjukkan kejantannya sebagai pemain. Kalau boleh saya bilang, dia pemain paling jujur dan amat sportif. Tidak lebay, tidak banyak trik mengelabui wasit untuk membuat lawan dikibas kartu, tak rajin ‘berguling-guling’ meringis kesakitan sembari memegang kaki, meski yang terbentur di kepala. Kalau pun di melakukan fouls itu dalam koridor profesionalisme dan kepentingan tim. Bukan untuk mencari sensasi, perhatian atau bahasa gaulnya caper, bukan sengaja untuk mengasari lawan atau membuat lawannya cedera.
Sekilas mimiknya terkesan bukan sebagai pemain yang ambisius dan menyambut girang setiap kemenangan. Padahal data statistik menunjukkan kontribusinya di setiap lagi cukup signifikan. Di balik itu semua, nyaris semua klub yang dibela Kante di musim pertama langsung juara. Karier Kante selalu menanjak sejak tampil bersama klubnya. Itu dimulai dari tim divisi tiga Perancis di musim 2012/13, Caen. Di musim pertamanya, ia membantu mereka promosi ke Ligue 1; setelah dua musim berada di sana, ia bergabung dengan Leicester dengan harga €8 Juta.
Dia benar-benar menjadi jimat keberuntungan. Kante yang pernah menjadi pemain terbaik Liga Inggris, sudah dua kali sukses membawa klubnya juara Liga Primer Inggris. Pada 2015/2016, ia ikut mempersembahkan Leicester City gelar juara. Lalu, hijrah ke Chelsea pun ia sukses merebut gelar itu lagi pada 2016/2017.
Kiprahnya di tim nasional juga baru dimulai dua tahun lalu. Debutnya saat masih berusia 25 tahun. Tapi, ia langsung menjadi salah satu pemain utama dalam daftar tim asuhan Didier Deschamps itu.
Menurut Opta, Kante tercatat 52 kali mengembalikan bola ke penguasaan Les Bleus – julukan timnas Perancis. Jumlah 52 kali adalah rekor untuk pemain Perancis dalam satu edisi Piala Dunia sejak Opta melakukan pencatatan pada tahun 1966. “Bersama Kante, Perancis bermain dengan 12 orang. Dia terhitung sebagai dua gelandang. Dia ada di mana-mana,” puji pandit terkenal sekaligus legenda timnas Inggris, Gary Lineker, seperti dikutip bolasport.com dari L’Equipe.
Saat Didi — panggilan akrab pelatih tim Ayam Jantan — itu menariknya pada menit 55 di partai final, ekspesi Kante amat tulus. Tidak ada mimik tidak suka, atau kurang senang atas putusan sang pelatih. Dia berjalan keluar lapangan dengan gagah tanpa penyesalan. Tidak ada reaksi sepak botol air mineral atau lempar jersey penuh kesal karena dikeluarkan tim pelatih. Prilaku semacam itu sepertinya ‘haram’ bagi Kante. Patut ditiru pemain-pemain belia ban sigom donya (seluruh dunia).
Balada kesederhanaan Kante mencapai titik sempurna di partai puncak Piala Dunia. Merengkuh trofi juara adalah impian banyak pemain. Merayakannya kemenangan dengan heboh adalah bagian dari ekspresi kebahagian dari hasil kerja keras. Namun, itu semua tidak ada dalam diri Kante. Bahkan untuk sekadar memegang tropi yang memang sangat pantas dan layak dia kecup juga harus ‘paksa’ sang rekan, Steven N’Zonzi. Pemain yang masuk menggantikannya pada final lawan Kroasia itu baru menyadari, ternyata Kante belum memegang trofi yang amat diincar semua pemain sepakbola.
Begitulah Kante dengan sikap pemalu dan baik hati yang patut ditiru oleh banyak pemain bola. Kendati dia sudah dipuja-puji sampai bisa menghentikan Lionel Messi, Kante tetap merendah. Padahal sang rekan-rekan seperti Paul Pogba, Samuel Umtiti dkk memujinya lewat lirikan lagu yang menunjukkan kelebihan Kante, yakni dalam menghentikan Lionel Messi pada babak 16 besar Piala Dunia 2018.
Namun, dari nyanyian itu juga diketahui bahwa Kante ternyata suka curang ketika bermain kartu. Bunyinya begini; “Ohh N’Golo Kante, ohh N’Golo Kante… He is short, he is nice, he’s the one, who stopped Leo Messi, but we all know he’s a cheater, N’Golo Kante!”
Beranjak dari itu semua, sepertinya para pemain bola amat patut meniru prilaku Kante selama tampil di lapangan. Santun.