Pekan lalu, saya kembali bertemu dengan Khuwailid. Dia pemain bola bertalenta dari Qatar. Dia anak Aceh yang besar di negara kaya minyak itu. Sambil menyeruput kopi, Khuwailid ditemani sang ayah, Mustafa Ibrahim. Pemuda 18 tahun ini sedang sarapan. Sepiring nasi gurih terhidang di hadapannya.
“Sedang liburan seperti biasa. Tadi pagi latihan di Persiraja untuk menjaga fisik selama libur kompetisi,” ujar Mustafa pada saya. “Video dan fotonya saya kirim ke klub. Sebab, klub awalnya tidak memberi izin, tapi saya janji ke mereka, selama di Aceh, Khuwailid tetap latihan.”

Keduanya bukan sosok asing bagi saya. Dua tahun silam, juga sudah pernah bertemu. Mereka pulang liburan sekaligus mengunjungi keluarga di Aceh. Untuk menjaga kebugaran, Khuwailid ikut bergabung latihan dengan pemain Persiraja. Saat itu, saya masih Media Officer di klub itu.
Sementara, kala itu Khuwailid masih bermain di Lekhwiya Sport Club. “Kini dia main di Al Duhail SC. Duhail ini klub merjer antara tim tentara dan polisi,” kata Mustafa. Cerita lengkap bisa dibaca pada blog saya dengan judul Khuwailid, Talenta Aceh Yang Bersinar di Qatar
“Kalau di Indonesia itu, PS TNI dengan Bhayangkara FC,” sambung saya seraya diamini Mustafa.
Berdasarkan cerita Mustafa, saat ini Khuwailid masih di level junior usia 19. “Tapi sudah mulai dilirik masuk ke U-23,” ujarnya.
Khuwailid lahir pada 29 Januari 2000 di Lhokseumawe dari pasangan Mustafa Ibrahim dengan Yulizar Syamsuddin. Keduanya berasal dari Kabupaten Pidie.
Saat Khuwailid baru berumur lima bulan, Mustafa dan keluarga hijrah ke Qatar. Dia bekerja di salah satu perusahan minyak di sana. Keluarga ini tinggal di komplek perumahan perusahaan Al Khor Housing Community-Qatar.

Di sinilah Khuwailid bersekolah dan mulai menyalurkan hobinya sebagai pemain bola. Kata Mustafa, pada tahun 2007, Khuwailid yang sudah telah berusia tujuh tahun mulai ikut latihan sepakbola bersama pelatih Muhammad Yunus Bani di komplek perumahan tempat di mana dia tinggal.
Sejak kecil prestasi Khuwailid cukup menonjol yang membuat beberapa club di Qatar terpikat. Lalu, mereka menawarkan untuk ikut bergabung dengan klub mereka. Pada Januari 2008 Khuwailid ikut bergabung dengan Al Khor Sport Club.
Usai beberapa bulan latihan bersama klub, ia merasa tidak nyaman dengan klub tersebut, akhirnya Khuwailid memutuskan untuk keluar dan kembali berlatih di komplek tempat dia tinggal.
Dia pernah menjadi pemain terbaik saat membawa timnya meraih juara pertama 1st AKC Interclub di Qatar. Saat itulah, dua klub ternama di Qatar yaitu Lekhwiya Sport Club dan Al Gharafa Sport Club menawarkan kembali kepada Khuwailid untuk segera bergabung dengan klub mereka.
Kata Mustafa, setelah penuh pertimbangan, akhirnya Khuwailid memutuskan untuk bergabung dengan Lekhwiya Sport Club. Setelah ikut bergabung dengan Lekhwiya Sport Club, Khuwailid di percaya sebagai kapten tim.
Pada Maret 2011, Khuwailid mulai mengikuti Qatar Star League yang diikuti 14 klub. Di Liga Qatar U-11 ini lagi-lagi Khuwailid menunjukkan bakatnya. “Itu Liga perdana Khuwailid. Alhamdulillah, tim yang dibela Khuwailid menduduki peringkat kedua diakhir kompetisi,” sebut Mustafa.
Ternyata, prestasi apik ini mencuri perhatian dari pengurus Qatar Football Association (QFA). Sejak tahun 2011 Khuwailid, bergabung dengan Lekhwiya Sport Club dan training di Aspire Academy seminggu lima kali. Masuknya Khuwailid ke Aspire Academy Qatar setelah mendapat rekom dari manajer klub yang menyarankan dia bergabung dan mengikuti training di lembaga itu.
Tak terasa, nasi gurih dilahap habis. Piring di depan Khuwailid sudah kosong. Tak lama kemudian, muncul Bang Kari. Dia mantan pemain PSAP Sigli, angkatan A Gamal, dan Dahlan Jalil. Nama lengkapnya saya lupa.

Ternyata Mustafa juga punya memori manis dengan Bang Kari. “Dulu kami satu SMP. Dia main bolanya bagus, posisinya center beck,” ceritanya kepada saya. Usia Bang Kari saat ini sudah di atas 50-an. Tapi, dia masih kuat main sepakbola antar kampung.
Bang Kari banyak memberi nasihat kepada Khuwailid yang masih muda. Sudah pasti nasihatnya seputar sepakbola. Dia memberi contoh Ismet Sofyan. Kapten Persija Jakarta itu sudah tidak muda lagi. Umurnya 38 tahun, tapi dia masih menjadi pemain utama di Macan Kemayoran yang tampil di Liga 1.
Kata dia, Ismet itu pemain yang paling disiplin, terutama dalam hal menjaga fisik. “Dia jam 10 malam sudah tidur. Dia tidak tergoda dengan ajakan keluar malam, nongkrong di cafe. Itu salut kita.”
“Istiharat yang cukup, jaga fisik jangan bergadang dan makan makanan bergizi,” saran Bang Kari.
Saya juga ikut memberi beberapa butir tips yang saya dapat dari Coach Timo Scheunemann, mantan pelatih Persema Malang. Mustafa pun kelihatannya cukup antusias dengan apa yang saya paparkan.
Siang sudah mulai menjemput. Mustafa dan Khuwailid ingin kembali ke rumah. Di Banda Aceh, Mustafa bermalam di tempat adiknya di bilangan, Kampong Pineung. Dalam dua hari ke depan, masa liburan usai. Keduanya kembali ke Qatar. Saat tulisan ini tayang, Mustafa baru istirahat di tempat kerjanya di negeri gurun pasir itu.
Qatar akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Makanya, saat ini federasi negara itu terus mencari bakat-bakat pemain muda untuk dipersiapkan tampil di Piala Dunia mendatang.
Praktis, peluang itu tidak tertutup untuk Khuwailid. Urusan kewarganegaraan itu gampang. Bisa di atur. Jika dia terus tampil apik dan mampu tampik sesuai harapan, bukan tidak mungkin, dia akan menjadi pemain Aceh atau Indonesia pertama di Piala Dunia.
Tentu saja saya berharap Khuwailid, menjadi calon bintang gemerlap dari Aceh di Qatar pada Piala Dunia mendatang. Semoga, dalam empat tahun mendatang, kebintangannya benar-benar terang di tengah gurun pasir. Semoga dia menjadi cahaya di puncak Burj Khalifa.