ACEHFOOTBALL — Ketika menyaksikan final Piala Presiden 2017 antara Arema FC dan Pusamania Borneo FC, Minggu (12/3/2017) malam, di Stadion Pakansari, nama yang terus dielu-elukan adalah sosok 40 tahun bernama Cristian Gonzales.
Bagaimana tidak? Dengan usia yang tak lagi muda, ia masih mampu memborong tiga gol dan mengantarkan Arema juara Piala Presiden dengan kemenangan telak, 5-1.
“Bukan El Loco yang mencari bola, tapi bola yang mencari dia,” begitu lah kurang lebih komentator di televisi yang heboh itu menggambarkan penampilan Gonzales.

Badannya gempal, namun nyatanya lari dari El Loco masih mampu memaksa Michael Orah kocar-kacir hingga melakukan blunder yang menyebabkan gol bunuh diri bersarang ke gawang PBFC II kawalan Wawan Hendrawan.
Di tengah teriakan akan regulasi untuk mengedepankan pemain muda untuk diberi kesempatan, Gonzales tak banyak protes soal rencana pembatasan untuk klub mengontrak usia pemain di atas 35 tahun. Ia meneriakkan usia bukan alasan dengan gol, dengan kepiawaiannya mencari posisi, keunggulannya menahan bola dan tentu memanfaatkan keseganan lawan akan sosoknya di lapangan.
Di Jepang, Kazuyoshi Miura mengenyampingkan usia sejalan dengan kecintaan dan gairahnya beraksi di lapangan hijau. Usianya 50 tahun, dan ia baru saja mencetak gol untuk Yokohama FC pada malam yang sama ketika Gonzales berpesta dan memastikan gelar sepatu emasnya di Piala Presiden 2017. Makin tua makin jadi, dan hal itu hanya didapat dari pengalaman dan kerja keras.
Rencana memberikan pemain muda jam terbang dengan mewajibkan klub memainkan pemain U-23 di tiap pertandingan tentu tak salah. Namun, jika dibarengi dengan pembatasan usia pemain, mungkin bisa jadi bumerang jika dilakukan secara tiba-tiba dan kagetan. Tua keladi macam Gonzales mungkin takkan pernah lagi ada di Indonesia, atau Bima Sakti, atau errm.. Bambang Pamungkas.
Yang perlu dikhawatirkan, bagaimana mungkin pemain berusaha menjaga fisik dan penampilan di usia jelang 30 jika sadar kariernya akan tamat dalam waktu dekat. Dan, lebih menyeramkan lagi, pemain muda yang tak berusaha keras lagi untuk bisa mengalahkan pamor dan kualitas pemain senior, karena sudah ada garansi tempat di susunan starting eleven.
“Kalau pemain senior tidak usah dibatasi nantinya juga berhenti sendiri karena mereka tahu batasan apakah masih sanggup bermain lagi atau tidak. Kasihan pemain yang masih bagus di lapangan jika harus dipaksa berhenti,” kata Gonzales, ketika rencana pembatasan usia pemain 35 tahun mencuat. “Keberadaan pemain senior di tim masih perlu karena bisa memberikan ilmu kepada pemain muda.”
Gonzales jadi contoh yang membuka mata bagaimana usia bukan batasan dan kematangan pun didapat seiring dengan pengalaman yang jelas memakan usia. Seperti pula King Kazu yang terus menjaga fisiknya supaya anak-anak muda Jepang terus kesulitan mengejar rekornya sebagai pemain tertua yang masih aktif di kompetisi profesional.
Sumber: fourfourtwo.com
Komentar